Konsultasi Agama

Hukum Menjamak Shalat karena Sering Bepergian


10 bulan yang lalu


hukum-menjamak-shalat-karena-sering-bepergian

Menjamak shalat adalah mengumpulkan dua shalat yang dikerjakan dalam satu waktu tetapi masing-masing tetap dikerjakan secara terpisah (masing-masing tetap dalam jumlah rakaat yang sempurna dengan dua kali salam). Menjamak shalat ini ada dua macam, yaitu jamak taqdim dan jamak ta’khir. Jamak taqdim adalah mengumpulkan dua shalat yang dikerjakan di waktu shalat yang lebih awal (Zuhur atau Maghrib), sedangkan jamak ta’khir adalah mengumpulkan dua shalat yang dikerjakan di waktu yang akhir (asar atau isya’). Shalat yang boleh dijamak (dikumpulkan) hanyalah shalat Zuhur dengan Ashar, dan shalat Maghrib dengan Isya.

Jumhur fuqahaa’ (mayoritas ulama ahli fiqih) membolehkan dilakukannya jamak taqdim adalah didasarkan pada makna hadis yang diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal bahwa “Pada waktu perang Tabuk, apabila Rasulullah SAW akan berangkat sesudah masuk waktu maghrib, maka beliau mengerjakan shalat isya dijamak dengan maghrib” (HR Ahmad, Abu Dawud, at-Turmudziy dan al-Hakim). 

Sementara alasan dibolehkannya jamak ta’khir adalah makna hadis yang diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa: “Apabila Rasulullah SAW melakukan perjalanan sebelum matahari tergelincir (belum masuk waktu Zuhur), maka beliau tunda shalat Zuhur ke waktu Ashar, kemudian beliau menjamaknya (Zuhur dengan Ashar). Tetapi, jika beliau berangkat setelah matahari tergelincir (masuk waktu Zuhur), maka beliau shalat Zuhur dulu baru berangkat” (HR Bukhari dan Muslim).

Mengenai sebab-sebab diperbolehkannya menjamak shalat, para fuqahaa’ (ulama ahli fiqih) berbeda pendapat. Fuqahaa’ Malikiyah (pengikut madzhab Malikiy) berpendapat bahwa hal-hal yang membolehkan menjamak shalat itu ada enam, yaitu bepergian (jauh atau dekat), hujan, sakit, wuquf di Arafah, berada di Muzdalifah, dan berada dalam keadaan yang sangat gelap. Sementara menurut Fuqahaa’ Syafi’iyah (pengikut madzhab Syafi’iy) hal-hal yang membolehkan menjamak shalat adalah bepergian jauh (90 km lebih), hujan lebat, sedang melaksanakan ibadah haji di Arafah dan Muzdalifah. Adapun Fuqahaa’ Hanabilah (pengikut madzhab Hanbaliy) berpendapat bahwa hal-hal yang memperbolehkan menjamak shalat itu ada tujuh macam, yakni bepergian jauh (70 km lebih), sakit, ibu yang menyusui, tidak mampu bersuci (wudu atau tayammum) setiap waktu shalat, tidak bisa mengetahui waktu shalat, wanita yang istikhadlah (mengeluarkan darah terus-menerus), dan/atau ada udzur (halangan), seperti khawatir keselamatan diri atau hartanya, atau pekerja berat yang tidak bisa meninggalkan pekerjaannya. Hal ini didasarkan pada makna hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa “Rasulullah SAW shalat bersama kami di Madinah dengan menjamak shalat Zuhur dengan Ashar dan shalat Maghrib dengan Isya” (HR Muslim), kemudian Muslim menambahnya dengan “bukan karena takut dan bukan karena bepergian.”

Berdasarkan uraian di atas, jika ada yang sering bepergian, bahkan hampir setiap pekan, maka dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pada prinsipnya shalat lima waktu itu sama sekali tidak boleh ditinggalkan, apa pun alasannya. Tetapi, jika karena bepergian jauh, sesering apa pun, asal bepergiannya tidak dalam kemaksiatan, maka diperbolehkan menjamak shalat sesuai ketentuan, bahkan juga diperbolehkan meng-qashar-nya. Soal seringnya seseorang bepergian, sehingga timbul pertanyaan “apa masih boleh menjamak shalat” maka hal ini dapat disandingkan dengan qashar shalat yang di dalam Al-Quran (an-Nisa’ 101) disebutkan sebabnya karena takut gangguan orang kafir. Lalu Umar ra bertanya kepada Rasulullah SAW bahwa sekarang kita sudah tidak takut lagi gangguan orang kafir, apa masih juga boleh meng-qashar. Nabi SAW menjawab: “Ini sedekahnya Allah SWT, maka terimalah sedekah-Nya”. Jadi, asal bepergian jauh dan tidak dalam kemaksiatan, maka boleh menjamak dan meng-qashar shalat. Tetapi, agar keringanan jamak-qashar itu bisa dinikmati, maka sebaiknya jangan terlalu sering digunakan, jangan selalu jamak-qashar, melainkan sesekali juga shalat secara nomal walau dalam keadaan bepergian jauh.   

Perlu ditambahkan penjelasan di sini bahwa hal-hal yang dianggap dapat menjadi sebab bolehnya seseorang menjamak shalat, antara fuqahaa’ satu dengan yang lain berbeda, karena perbedaan persepsi dan interpretasi mereka terhadap dalil dan elaborasinya. Ini artinya bisa saja ditambahkan faktor lain sejenis yang memang benar-benar menyebabkan sulitnya seseorang mengerjakan shalat pada waktunya.

Karena itu, dapat ditegaskan bahwa semua jenis udzur (halangan) yang menyulitkan seseorang melaksanakan shalat pada waktunya, membolehkan dia untuk menjamak shalat, selama halangan tersebut bukan berupa kemaksiatan atau pelanggaran ajaran agama, dan harus tetap disertai hati yang taat pada Allah SWT. Hal ini didasarkan pada makna hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas di atas bahwa: “Rasulullah SAW shalat bersama kami di Madinah dengan menjamak shalat Zuhur dengan Ashar dan shalat Maghrib dengan Isya” (HR Muslim), kemudian Muslim menambahnya dengan “bukan karena takut dan bukan karena bepergian”, yang berarti karena adanya udzur tertentu.

Bagaimanapun cara jamak ini jauh lebih baik daripada cara yang dilakukan sebagian orang dengan “mengutang” shalat dan meng-qadla’ (mengganti)nya pada waktu yang lain. Hal ini jelas tanpa dasar argumen apalagi dalil apa pun yang dapat dibenarkan.

Perlu juga diketahui bahwa orang yang diperbolehkan menjamak shalat tidak secara otomatis diperbolehkan pula meng-qashar shalat (yakni melaksanakan shalat yang mestinya 4 rakaat menjadi 2 rakaat) sebab diperbolehkannya meng-qashar shalat hanyalah kalau sedang bepergian sejauh kira-kira 90 km atau sedang wuquf di Arafah dan mabit di Muzdalifah. Hal ini selain didasarkan pada surat An-Nisa’ ayat 101, juga disandarkan pada riwayat Abdullah bin Umar: ”Saya pernah mendampingi Rasulullah SAW dalam suatu perjalanan, maka beliau kalau  shalat tidak pernah lebih dari 2 rakaat. Demikian pula Abu bakar, Umar dan Utsman” (HR Bukhari dan Muslim). 

Jadi, kalau karena sakit atau amat sibuk yang darurat, maka hanya diperbolehkan menjamak saja, tidak diperbolehkan meng-qasharnya. Dengan demikian, orang yang boleh menjamak shalat tidak selalu boleh meng-qasharnya, tetapi orang yang boleh meng-qashar shalat selalu boleh menjamaknya.

Wallaahu a’lam