Hikmah

Jatuh Miskin


2 tahun yang lalu


jatuh-miskin

Sepenggal kisah yang luar biasa saya dapatkan dari seorang pengemudi taksi online. Betapa tidak, ia berkisah pernah menjadi orang yang sangat kaya dan terpuruk menjadi sangat miskin.

”Saya merasa sangat kaya karena untuk membeli mobil mewah keluaran terbaru seperti membeli kacang goreng saja, Pak. Saya bisa gonta-ganti mobil kapan pun saya mau. Kalau mau pergi keluar negeri, kapan pun saya bisa. Sampai hari ini anak saya tinggal di luar negeri dan menikah dengan orang asing.” Demikian ia membuka kisahnya. 

”Bahkan, saya pernah membeli show room mobil. Bukan hanya mobilnya lho, Pak. Sampai pemiliknya heran, puluhan mobil baru yang ada di dalam show room-nya saya beli semua. Yang lebih mengherankan lagi, mobilnya habis terjual kurang lebih tiga bulan,” ia melanjutkan kisahnya dengan penuh semangat.

”Tetapi, ketika di puncak Covid lalu itu, saya merasakan tanda kejatuhan ekonomi mulai tak terbendung. Semua aset saya lepas. Rumah, deposito semua sudah habis, bahkan untuk makan saja sulit.” Terdengar suranya parau.

”Kemudian saya sama istri hijrah ke Surabaya untuk mencari kehidupan baru sekaligus menghindari beban sosial yang sangat berat. Saya pindah ke Surabaya, maaf Pak bukan pamer…. Saya bawa mobil Jaguar. Saya dapat rumah kontrakan, tetapi tidak berapa lama, ada orang yang menemukan saya, ia minta dibayar utangnya. Aset satu-satunya, mobil Jaguar, saya kasihkan dia. Saya bilang ke dia, ’Sudah ambil saja, ambil saja, ini juga ngerepoti saya’. Meskipun utang saya pada dia tidak sampai seharga mobil Jaguar itu,” ulasnya dengan dengan tegas.

”Ketika saya melepas mobil terakhir saya, yang terpikirkan adalah lepas dari tanggungan utang dan  beban punya mobil. Jadi, saya cepat-cepat saja lepaskan, pokoknya utang saya selesai. Saya benar-benar lega ketika itu,” ungkapnya dengan berbinar.

”Untuk bertahan hidup, saya dengan istri jualan nasi bungkus. Bener, Pak, saya jualan nasi bungkus. Sehingga ketika itu saya bisa merasakan betul, betapa berharganya uang sepuluh ribu,” tegasnya.

Lalu saya bertanya, ”Bagaimana dengan anak-anak bapak yang tinggal di luar negeri?” pikiran saya, masa anaknya tidak peduli pada orang tuanya yang sedang kesusahan.

Ia menjawab dengan luar biasa juga, ”Saya tidak pernah bilang sama mereka. Saya tidak ingin menyusahkan mereka. Kalau video call-an sama mereka, saya cari hotel atau mal dulu, Pak. Kepada semua saudara saya, juga begitu, pamit ke mereka jangan kunjungi saya karena sedang di rumah anakku. Mereka percaya saja, tidak menyangka kalau saya sekarang di Surabaya.”

”Saya kagum sama sampean, Pak, kok masih hidup,” komentar saya spontan. 

Ia tertawa keras sambil menimpali, ”Iya ya Pak. Allah masih sayang sama saya. Alhamdulillah, istri saya kuat, ia nurut apa kata saya, dia tidak minta apa-apa, pokoknya ayo jalani bersama, ia rajin ikut pengajian dan saya pun tidak pernah lepas menghadiri pengajian. Ustaz sabar juga mendampingi saya.”    

”Maasyaa Allah Pak. Saya kalau di posisi Bapak belum tentu kuat. Itu ujian berat banget karena tidak sedikit juga kan yang ujiannya lebih ringan daripada sampean, tapi sudah keburu putus asa,” ujar saya dengan penuh simpati.

Allah Maha Benar dengan segala firman-Nya bahwa hidup dan mati adalah ujian yang dipergilirkan karena Allah hanya ingin melihat siapa di manusia yang paling baik amalnya. Timbangan Allah, tidak pada seberapa kayanya manusia atau seberapa miskinnya seseorang, tetapi bagaimana setiap orang menjalani kehidupannya di kala miskin dan sikapnya di saat di puncak kejayaan dalam hidupnya. Wallahu sari’ul hisaab.