2 tahun yang lalu
Siti Khadijah binti Khuwailid lahir di Mekah pada tahun 556 Masehi. Ia adalah perempuan pertama yang beriman kepada Allah. Khadijah al-Kubra adalah seorang perempuan terhormat, dihormati dan dipandang tinggi, serta suka menolong orang yang lemah dan yang memerlukan. Ia melamar Rasulullah SAW sebagai suami karena tertarik dengan pribadi Baginda Nabi yang sangat mulia.
Siti Khadijah berasal dari Bani Quraisy, yaitu suku yang dipandang tinggi oleh masyarakat Arab. Beliau ialah anak perempuan pasangan Khuwailid bin Asad dan Fatimah binti Zaidah dari kabilah Bani Asad dari suku kaum Quraisy, ayahnya wafat dalam peperangan Fujjar.
Khadijah adalah wanita teladan, sebagai istri Nabi yang mampu melaksanakan dengan baik atas tanggung jawabnya dan mampu memberikan dorongan, semangat kepada Rasulullah SAW dengan sangat baik. Selain itu, Khadijah mampu memberdayakan kekayaannya untuk keluarga dan masyarakat yang memerlukan bantuan.
Khadijah mampu menjadi pendamping Nabi yang baik, di antaranya menenangkannya dengan penuh kerelaan saat beliau menerima wahyu pertama di Gua Hira yang kondisinya menakutkan dengan mengatakan, “Tidak mungkin. Demi Allah, Allah tidak akan merendahkanmu. Sesungguhnya engkau menyambung persaudaraan, jujur dalam berucap, menanggung orang lemah, menjamu tamu dan membantu kesulitan-kesulitan hak orang lain.”
Khadijah adalah seorang ibu rumah tangga yang turut berjuang membantu jihad sang suami dengan segala upayanya menegakkan kebenaran pada kejahiliyahan kaumnya sendiri. Ia rela menyumbangkan segala potensinya, baik berupa pemikiran maupun harta bendanya.
Karena jarangnya sifat-sifat yang dimiliki Khadijah terdapat pada diri kaum wanita sejagat alam ini sekalipun, Khadijah termasuk dalam golongan hamba-hamba Allah yang menghuni surga-Nya kelak. Nabi SAW bersabda, "Sebaik-baik wanita ahli surga adalah Maryam binti Imran, Fatimah binti Rasulullah, Khadijah binti Khuwailid, dan istri Firaun" (HR Muslim).
Khadijah memiliki beberapa gelar yang disematkan kepadanya, antara lain:
1. At-Thaahirah (Perempuan Suci).
Gelar ini disematkan kepada Khadijah karena ia senantiasa menjaga kesucian dirinya sebagai seorang perempuan. Khadijah hidup dalam keagungan dan kemegahan. Kaumnya pun termasuk orang-orang yang terhormat. Selain umumnya masyarakat adalah memang pedagang, Khadijah pun seorang pedagang besar dan kaya raya. Selama berniaga, ia tentu memiliki hubungan dan jaringan yang amat luas dengan banyak orang termasuk kaum lelaki. Namun, dia mampu menjaga keselamatan kehormatan dirinya termasuk dalam berinteraksi secara langsung dengan mereka. Khadijah mengangkat orang kepercayaannya, yaitu hamba sahaya bernama Maisarah yang merupakan pelayannya. Dengan demikian, dalam bisnisnya, Khadijah secara fisik cukup memberi pengarahan dari jarak jauh. Jika berdiskusi, ia melakukannya di ruang tamu yang dipenuhi oleh keluarganya. Hal ini untuk menjaga kesuciannya sebagai seorang muslimah. Bagi seorang Khadijah, ternyata menjadi pebisnis besar yang kaya raya bisa dilakukan dengan tetap menjaga kesucian dirinya sebagai muslimah.
Kemuliaan Khadijah yang demikian unggul harus dapat kita contoh dalam keseharian perilaku kita, di antaranya adalah kita harus mampu menjaga diri dari perbuatan dosa yang disebabkan dari hubungan dengan lain jenis yang bukan mahramnya.
2. Ummul Mukminin (Ibu dari Orang-Orang yang Beriman).
Gelar ini tidak didapat oleh sembarang perempuan. Sebab, hanya perempuan tertentu sesuai dengan petunjuk dan bimbingan Allah SWT yang juga dapat menikah dengan Rasulullah SAW. Para ulama yang ‘arif menegaskan, “Khadijah adalah ibu orang-orang beriman, termasuk bagi Rasulullah.” Sebab, pada saat itu Nabi sangat membutuhkan sosok ibu dibandingkan istri. Khadijah benar-benar hadir di sisi Nabi mengambil peranannya sebagai ibu bagi Nabi, ia merawat, menenangkan, dan setia berada di samping Nabi saat situasi yang betul-betul sulit sekalipun. Harus kita tiru bahwa keberadaan kita akan menjadi penopang bagi pihak yang berada dalam kondisi kurang baik. Seorang istri hendaknya menjadi pendamping sejati bagi suami dan menjadi ibu sejati bagi anak-anaknya. Istri adalah seorang partner terbaik bagi suami bahkan menjadi seorang advicer dan motivator serta balancing bagi suaminya saat suasana keluarga menghadapi suatu tantangan. Istri juga dapat menampilkan kelembutan kewanitaannya sebagai penenang suami, di saat suami mengalami kondisi yang tidak kondusif. Istri bukanlah seorang biang keladi yang membuat suasana keluarga panas, tetapi istri membuat daya tarik yang mampu menciptakan rumah menjadi surga bagi keluarganya “baiti jannati, rumahku adalah surgaku”. Peran Khadijah tidak hanya itu, tetapi juga “pemasok utama Nabi” dalam perjuangan menebar rahamatan lil ’alamin. Maka, tangis Khadijah yang terjadi bukan karena kekayaannya habis untuk perjuangan Nabi, tetapi tangisan doa agar perjuangan Nabi harus terus dapat pasokan modal yang lebih besar dari kekayaan dia sendiri. Dia ingin mem-back up dengan sempurna atas kebutuhan dakwah Rasulullah SAW. Maka, Khadijah telah mewajibkan dirinya membayar keberhasilan Dakwah Nabi sebagai kebahagiaan hidupnya. Implementasi contoh ini bagi kita adalah tidak ada rupiah kecuali untuk mendukung perjuangan mencapai rida Allah SWT, termasuk perjuangan mendidik anak-anak kita menjadi anak yang saleh.
Khadijah mendapatkan semua gelar kehormatan ini karena ia telah mempersembahkan semua yang dimilikinya di jalan Allah. Maka, sebagai insan ummat Nabi SAW, sudah semestinya kita menjadikan Khadijah sebagai teladan hidup dan kehidupan, baik sebagai seorang istri, ibu, maupun pejuang Allah. Tiada ibadah kita, hidup dan mati kita, kecuali hanya untuk Allah SWT.
Semoga pembacaan ulang profil Khadijah ini mampu mengangkat derajat kita semakin mulia dihadapan Allah SWT.