Parenting

Rangking Mania


4 bulan yang lalu


rangking-mania

Setiap penerimaan hasil laporan belajar (musim rapotan) anak di sekolah, baik di tengah semester maupun akhir semester, apalagi menjelang kenaikan kelas, pasti orang tua akan mendapatkan rapor sisipan atau rapor yang sebenarnya dari sekolah.

Alhamdulillah, rapor di hampir sekolah sekarang ini tidak lagi mencantumkan ranking (pemeringkatan) murid. Meskipun demikian, para wali kelas telah mememiliki rekam data prestasi pencapaian ketuntasan belajar masing-masing anak plus penguasaan setiap bidang studinya. 

Beberapa waktu lalu ketika penerimaan rapor semester satu, seorang ibu yang putrinya duduk di kelas 4 di sebuah sekolah bertanya kepada wali kelasnya, “Bu, ranking berapa putri saya?” ”Ranking kedua, Bu,” jawab si wali kelas sambil melihat data di laptopnya yang hanya diperlihatkan khusus untuk wali murid yang bertanya. “Lho, kok bisa!” sergah si wali murid seolah kurang percaya jawaban wali kelasnya. ”Padahal, nilai harian anak saya bagus-bagus lho, Bu.”  

Sejurus kemudian sang wali kelas menggeser laptopnya dan menampilkan rekapitulasi nilai sang anak dalam sebuah aplikasi penilaian. Baru sang ibu yang bertanya tadi manggut-manggut sambil mencermati dan yakin benar hasil belajar putrinya. Belum cukup sampai di situ, di luar kelas pun masih bertanya kepada wali murid lain tentang ranking putra-putrinya dengan membandingkan prestasi putrinya.  


Masih banyakkah orang tua seperti ini? Bila masih, betapa pekerjaan pendidikan di negeri ini masih besar sekali. Memahamkan kepada orang tua bahwa peringkat bukanlah segalagalanya dalam kesuksesan kehidupan anak di masa mendatang jika dibandingkan dengan pencapaian kemandirian dan kematangan aspek perkembangan anak. “Pintar  ada waktunya! Karena yang berkembang adalah pusat perasaan, anak usia dini harus jadi anak yang bahagia, bukan  jadi anak pintar,” demikian penjelasan tegas dari psikolog terkenal Elly Risman.

Ranking mania adalah sebuah perilaku yang menjadikan peringkat adalah segalanya sehingga siswa terobsesi menjadi juara kelas atau juara pada lomba-lomba tertentu. Ranking mania dapat mengakibatkan siswa merasa lebih baik, lebih pintar, dan lebih hebat. Padahal, di negeri yang sukses pendidikannya seperti Finlandia, menurut indikator PISA (Program for International Student Assesment) sejak awal 2000 hingga 2012, tidak pernah menerapkan ranking. Mereka menganggap semua siswa adalah orang terbaik (setara) sehingga tidak perlu ada peringkat dalam setiap penerimaan rapor.  

 Dampak ranking mania bagi siswa adalah sikap aku lebih baik, lebih pintar, lebih hebat akan termanifestasikan dalam perilaku negatif, seperti persaingan tidak sehat, ingin berkuasa, serta tidak mau dikalahkan dan menindas. Akibat besarnya adalah terjadilah banyak konfik. “Kebutuhan anak usia 0-8 tahun adalah bermain dan terbentuknya kelekatan. Jangan kau cabut anak-anak dari dunianya terlalu cepat karena kau akan mendapatkan orang dewasa yang kekanak-kanakan” (Prof. Neil Postman dalam The Disappearance Childhood).

Dalam kehidupan sekarang ini kita sering mengamati dan membaca, lulusan  sarjana yang selalu mendapat nilai A ternyata menjalani kehidupan yang biasa biasa saja. Sementara teman sekelasnya, yang mungkin secara akademis tidak berprestasi segemilang mereka, menjalani kehidupan yang lebih sejahtera, lebih bahagia, dan lebih sehat. Kenyataannya, banyak contoh orang-orang yang terus menerus mendapatkan ranking satu atau nilai “A” di sekolah, tetapi akhirnya bekerja untuk orang-orang yang mungkin secara akademis tidak sehebat mereka.

Dalam dunia bisnis sering kita dengar nama-nama beken seperti  Bill Gates, Sim Wing Hoo, Sylvester Stallon, Tiger Woods, dan Richard Branson adalah orang-orang yang tidak pernah unggul secara akademis, tetapi akhirnya sangat berhasil dalam bisnis yang mereka lakukan. Mereka yang secara akademis tidak begitu hebat ini akhirnya menjadi pelaku bisnis dan pemilik bisnis setelah selesai sekolah. 


Dengan demikian, jelas bahwa ranking dan keberhasilan akademis semata bukanlah suatu indikator yang baik dari kesuksesan seseorang dalam hidup. Yang terpenting dalam pendampingan dan pengasuhan anak agar tidak terjebak ranking mania adalah sejauh mana orang tua mampu mengenal potensi kemampuan dan kecerdasan yang dimilikinya sejak dini.

 Semakin lebih awal mampu terdeteksi kemampuan dan kecerdasan itu, maka semakin mudah kita mengarahkan, membantu dan mendampingi anak agar lebih sukses meraih cita-citanya tanpa terjadi pembebanan psikis berlebihan, yang tidak sesuai dengan kapasitas kecerdasan mereka. Orang tua paham sekaligus menerima plus minus potensi putra-putrinya. Wallahu a’lam.