Motivasi

Sabar, Bukanlah Pasrah


17 hari yang lalu


sabar-bukanlah-pasrah

”Sabar merupakan ciri khas milik manusia dan tidak dimiliki oleh hewan karena kekurangan-kekurangannya dan tidak pula dimiliki oleh malaikat karena kesempurnaannya”. Inilah pernyataan Imam Ghazali tentang sabar. Dengan kata lain, adanya kesabaran dalam diri manusia adalah tanda kebaikan dan habisnya kesabaran dalam diri manusia pertanda keburukan dan kekurangan.

Dalam Al-Qur’an, sabar dengan segala turunan katanya dijelaskan sampai lebih dari seratus kali (Nadhir, Al Mu’jam Mufahras li Alfadhil Qur’an). Dari hal ini tergambar begitu pentingya kesabaran bagi seorang manusia. Boleh dikatakan salah satu sifat mulia yang dituntut untuk manusia miliki adalah sabar.

Faktanya, dalam Al-Qur’an surat Al Baqarah ayat 153 dijelaskan, ”Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” .

Dari ayat tersebut bisa dipahami bahwa ada syarat yang harus dipenuhi ketika meminta pertolongan kepada Allah, yaitu kesabaran. Bahkan, di akhir ayat pun orang-orang yang dipuji adalah orang-orang yang sabar, bukan yang shalat. Artinya, siapa yang bersabar pasti bisa mampu melaksanakan shalat dengan baik. Oleh sebab itu, sabar sangat diutamakan.

Sabar secara leksikal berarti menahan dan mencegah diri. Secara istilah, sabar diartikan sebagai sikap menahan diri atau membatasi jiwa dari keinginannya demi mencapai sesuatu yang baik atau lebih baik dan luhur. (Secercah Cahaya Ilahi:Hidup Bersama Al-Qur’an)

Lebih jelas bila merinci lawan kata dari sabar yang berarti keluhan (jaza’), kecemasan atau kegelisahan. Artinya, orang yang sabar juga bisa diartikan dengan tenang menghadapi semua permasalahan dan membuang energi negatif menuju energi positif.

Contoh apabila kita menghadapi keadaan yang sulit dan menjemukan, maka kesabaran dalam menghadapi hal tersebut disebut dengan lapang dada. Contoh yang lain ketika harus sabar menghadapi keadaan rezeki yang sulit, maka kesabaran dalam menghadapi hal tersebut disebut dengan qana’ah atau rela. 

Karena itu, wajar jika kemudian disebut bahwa pangkal dari sifat baik adalah kesabaran. Begitu pula halnya dengan pangkal iman yang juga berasal dari kesabaran seperti yang dijelaskan dalam diartikan, ”Dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan penderitaan dan dalam peperangan, mereka itulah orang-orang yang benar (imannya) dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS 2 : 177)

Sabar juga bisa berbentuk dua macam (Al-Qur’an Menyuruh Kita Sabar). Pertama, sabar akan kesakitan fisik. Seperti ketika seseorang menerima pukulan, kecelakaan, dan yang lainnya berupa derita kesakitan di badan. Karena banyak orang yang terkena musibah justru mencela Allah atau keadaan, artinya dirinya tidak sabar dengan cobaan.

Kedua, sabar terhadap hawa nafsu. Inilah tahap tersulit ketika manusia selalu ingin mengikuti hawa nafsunya seperti mengikuti kesenangan dengan berfoya-foya, sedangkan agama melarangnya. Artinya, setiap orang harus sabar untuk tidak mengikuti hawa nafsu. Dalam tahap inilah banyak manusia yang gagal dalam melaksanakannya. 

Bahkan, agama Islam memiliki istilah khusus ketika seseorang mampu menahan syahwat untuk mengikuti keinginan perutnya dan kemaluannya, yaitu iffah yang diartikan dengan kehormatan atau harga diri. Atau dengan kata lain dalam tahap ini seseorang telah mampu menjaga kehormatannya dan saat itu disebut dengan orang-orang yang sabar.

Dalam sebuah riwayat Bukhari dan Muslim dari sahabat Rasul Muhammad SAW, Anas ibn Malik, dijelaskan bahwa suatu saat Rasul menemukan seorang wanita yang menangis di sebuah kuburan. Kemudian Nabi bersabda kepada perempuan tersebut, ”Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah.”

Namun, karena kesedihan yang begitu mendalam wanita tersebut tidak mengenal kalau yang berbicara adalah Rasululullah dan membalas, ”Pergilah, jangan ikut campur urusanku. Engkau tidak tertimpa seperti yang menimpaku.”

Ketika wanita tersebut mengetahui bahwa yang berbicara adalah seorang rasul, wanita tersebut menyesal dan meminta maaf, ”Waktu itu aku tidak mengenalmu.”

Namun, jawaban Nabi SAW selanjutnya layak dijadikan pedoman, ”Hakikat kesabaran (kesempurnaan kesabaran) dinilai pada saat pertama dari kedatangan malapetaka” (bukan setelah berlalu sekian lama).” Karena itu, kesabaran bukan berarti sebuah kepasrahan atau lemah, namun sebuah perjuangan hebat dalam mengendalikan hawa nafsunya.