Keluarga

Tepat Dalam Mendidik


17 hari yang lalu


tepat-dalam-mendidik

Seorang lelaki pernah mendatangi khalifah Umar bin Khattab ra, kemudian mengadukan kedurhakaan anaknya. Umar lalu memanggil putra lelaki tersebut dan menghardik atas kedurhakaannya. Tidak lama kemudian si anak bertanya, ”Wahai Amirul Mukminin, bukankah sang anak memiliki hak atas orang tuanya?”

”Betul,” jawab Umar.
”Apakah hak anak?” tanya si anak.
”Memilih calon ibu yang baik untuknya, memberinya nama yang baik, dan mengajarkannya Al-Qur’an,” jawab sang khalifah.

Si anak pun menjawab, ”Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya ayahku tidak melakukan satu pun dari apa yang engkau sebutkan. Ibuku adalah wanita berkulit hitam bekas hamba sahaya orang majusi. Ia menamaiku Ju’lan (kumbang) dan tidak mengajariku satu huruf pun dari Al-Qur’an.”

Pandangan Umar beralih kepada lelaki yang mengadu dan berkata kepadanya, ”Engkau datang untuk mengadukan kedurhakaan anakmu. Padahal, engkau telah durhaka kepadanya sebelum ia mendurhakaimu.”

***
Mengajarkan Al-Qur’an atau secara umum dapat diartikan memberikan pendidikan kepada anak adalah salah satu kewajiban orang tua. Pendidikan bisa menjadi warisan terbaik dari orang tua kepada anak. Sayangnya, definisi memberi pendidikan menjadi sempit. Terbatas pada upaya menempatkan dan menyerahkan anak pada sekolah favorit ataupun sekolah yang telah memiliki label sekolah terbaik. Jika belajar tentang Al-Qur’an, dititipkannya si anak di masjid atau TPQ sekitar dan tidak jarang lalai untuk memperhatikan sampai di mana kemampuan si anak dalam belajar Al-Qur’an. Lalu, seperti apa semestinya memberi pendidikan kepada anak?

Sesungguh Islam sangat besar kepeduliannya terhadap pendidikan anak. Allah SWT telah mengingatkan kita, para orang tua untuk memperhatikannya. Melalui surat An Nisa (9) Allah berfirman, ”Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap mereka. Karena itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”

Rasul SAW pun mengingatkan melalui sabdanya, ”Bertakwalah kepada Allah dan berbuatlah adil antara anak-anakmu sebagaimana kalian ingin mereka kelak berbakti kepadamu” (HR Thabrani).

Begitu besarnya perhatian Allah SWT dan Rasul SAW terhadap pendidikan anak membuat kita berjuang lebih keras untuk memberi dan memilihkan fasilitas yang terbaik kepada anak. Tentu tujuannya agar anak merasa nyaman dan tidak merasakan penderitaan. Apa yang diinginkan anak dengan sigap kita mewujudkannya. Inilah yang terkadang membuat kita tidak mampu membedakan antara apa yang diinginkan dan dibutuhkan anak.

Pakar sejarah Islam dan pengamat pendidikan nabawi Budi Ashari Lc mengutip pendapat Imam Ibnu Qoyim, ”Betapa banyak orang yang menyengsarakan anaknya, buah hatinya, di dunia dan akhirat karena ia tidak memperhatikannya, tidak mendidiknya, dan memfasilitasi syahwat (keinginannya), sementara dia mengira telah memuliakannya padahal dia telah merendahkannya. Dia juga mengira telah menyayanginya, padahal dia telah menzaliminya. Maka, hilanglah bagiannya pada anak itu di dunia dan akhirat. Jika Anda amati kerusakan pada anak-anak, penyebab utamanya adalah ayah”. (Tuhfatul Maudud, 1/242).

Menarik kita garis bawahi, penyebab kerusakan anak adalah ayah. Mengapa demikian? Bila kita berkaca dari generasi salafus shalih, mungkin kita akan terkejut. Tanggung jawab pendidikan yang selama ini kita serahkan sepenuhnya kepada ibu atau guru ternyata tanggung jawab tersebut harusnya dipikul oleh ayah. 

Budi Ashari menuturkan, ”Perhatikan Al-Qur’an, tidak banyak dialog atau nasihat pendidikan yang dilakukan ibu kepada anaknya. Yang banyak adalah dialog ayah terhadap putranya.” Salah satu contoh nasihat populer adalah nasihat Luqman kepada anaknya.

Sementara itu, menurut Salim A. Fillah, sebelum memberi berbagai macam pendidikan kepada anak, hal utama yang harus dimiliki orang tua adalah kebijaksanaan. ”Kebijaksanaan tertinggi adalah rasa syukur disebabkan kehadiran anak. Ungkapan dan ekspresi rasa syukur harus kita tunjukkan kepada anak. Misalnya, dengan mengatakan kepada anak; Nak, betapa ayah sangat berterima kasih kepada Allah SWT karena telah menghadirkan engkau.” tuturnya.

Ditambahkannya, ungkapan cinta kepada anak tidak cukup dengan menyekolahkan atau memenuhi kebutuhan lahiriahnya. Ekspresi syukur bisa ditunjuukan dengan memeluk, mencium, atau bermain bersama. Salim mengisahkan bagaimana Nabi yang saat itu sudah memasuki usia 60-an tahun ikut bermain bersama para cucunya, Hasan dan Husain. Pernah Rasulullah SAW bermain kuda-kudaan dengan cucunya. 

Ketika Rasulullah SAW sedang merangkak di atas tanah, sementara kedua cucunya berada di punggungnya, Umar datang lalu berkata, ”Hai anak, alangkah indahnya tungganganmu.” Rasulullah SAW pun menjawab, ”Alangkah indahnya para penunggangnya” 

Salim melanjutkan penuturannya, Al-Qur’an membentangkan bagaimana figur ayah dalam mendidik anak. Salah satunya dalam surat Luqman yang memuat nilai-nilai dasar untuk kita tanamkan pada diri sendiri dan anak-anak. Harapannya tentu agar anak mampu menghadapi keadaan, tempat, dan zaman serta orang-orang macam apa pun.

Dalam mendidik, Luqman memberi tahapan yang bisa menjadi panduan kita. Pendidikan pertama adalah mengenalkan Allah dan tidak menyekutukan-Nya. Mengenalkan Allah menjadi sangat penting di usia dini kepada anak sebagai fondasi tauhid. 

Salah satu cara mengenalkan Allah kepada anak bisa disimak dari nasihat Nabi SAW kepada Ibnu Abbas,

”.... Nak, jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu; jagalah Allah, niscaya engkau mendapati-Nya bersamamu; jika engkau meminta, mintalah kepada Allah; jika engkau meminta tolong, minta tolonglah kepada Allah. Ketahuilah, jika umat manusia bersatu untuk memberi manfaat dengan sesuatu, mereka tidak dapat melakukannya kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan bagimu. Dan jika mereka bersatu untuk mencelakakanmu dengan sesuatu, mereka tidak akan dapat melakukannya kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan bagimu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.” (HR Tirmidzi)

Ajaran kedua adalah memberi teladan ketaatan kepada orang tua. Bukan berita basi lagi bila anak adalah plagiator ulung. Anak akan melihat ketika orang tuanya berbakti kepada orang tuanya (kakek-nenek). Secara tidak langsung tuntunan yang berawal dari tontonan tersebut akan ditirunya.

Cara berbakti kepada orang tua ditunjukkan sahabat Sa’ad bin Abi Waqqas kepada kita. Setelah memeluk Islam, keadaannya tidak jauh berbeda dengan kisah keislaman para sahabat lainnya. Ibunya sangat marah dengan keislaman Sa’ad. ”Wahai Sa’ad, apakah engkau rela meninggalkan agamamu dan agama bapakmu untuk mengikuti agama baru itu? Aku tidak akan makan dan minum sebelum engkau meninggalkan agama barumu itu,” ancam sang ibu.

Dengan tegas Sa’ad menjawab, ”Demi Allah, aku tidak akan meninggalkan agamaku!” Sang ibu tetap nekat karena ia mengetahui persis bahwa Sa’ad sangat menyayanginya. Sang ibu mengira hati Sa’ad akan luluh jika melihatnya dalam keadaan lemah dan sakit. Ia tetap mengancam akan terus melakukan mogok makan.

”Wahai ibu, demi Allah, seandainya engkau memiliki 70 nyawa dan keluar satu per satu, aku tidak akan pernah mau meninggalkan agamaku selamanya!” tegas Sa’ad. Allah mengabadikan kisah Sa’ad ini dalam surat Luqman ayat 15.

Ajaran ketiga adalah menanamkan pada anak untuk berbuat kebajikan. Salah satu media pengajaran ini melalui shalat. Nabi SAW bersabda, ”Perintahkan anak kalian shalat saat mereka berusia tujuh tahun. Pukullah mereka (jika tidak melaksanakan shalat) saat mereka berusia sepuluh tahun....”

Perintah shalat ini satu paket dengan perintah amar makruf nahi mungkar dan kesabaran. Dengan tujuan pada usia tujuh tahun anak sudah mengerti mana yang baik dan mana yang rusak; mana yang keji dan mana yang suci. Penanaman perintah pada usia tujuh tahun juga mengandung sebuah makna, yakni penanaman nilai kejujuran, kebajikan. Maksudnya, meskipun orang tua, teman, atau guru tidak melihat perbuatan baik atau buruk yang dilakukan anak, Allah SWT tetap memperhatikan. Di sinilah ada pelajaran bahwa besar atau kecil suatu perbuatan, Allah perhatikan dan memperhitungkan untuk memberi balasan.

Kendati ajaran shalat sudah banyak dilakukan para orang tua, bahkan saat anak masih berusia batita, dalam praktiknya tidak sedikit orang tua yang salah menerapkan. Yakni, menanamkan perintah shalat dengan ancaman sehingga membuat anak tidak nyaman atau takut. Misalnya, saat usia dua tahun anak sudah dibelikan mukena atau diajak ke masjid. Ketika anak kecil tersebut ramai dan tidak mengikuti gerakan shalat, ibu atau ayah memarahinya dengan mengatakan, ”Allah tidak suka kalau kalian ramai..” atau kalimat sejenis lainnya.

Setelah menanamkan akidah, ajaran berikutnya yang diberikan Luqman kepada putranya adalah akhlak. Di antaranya, rendah hati, menyederhanakan dalam berjalan, dan menahan suara. Menahan suara yang dimaksud adalah berbicara lembut, tidak berteriak-teriak, dan tidak membentak.

Kesimpulannya, Islam sangat mengedepankan pentingnya pendidikan. Termasuk pendidikan akhlak dan karakter. Porsinya pun berimbang, antara pendidikan di dunia dan pendidikan untuk bekal di akhirat. Pendidikan akademik haruslah diimbangi dengan karakter karimah dan pengetahuan agama yang baik agar tercipta sebuah pengetahuan dan pemahaman yang benar. Sesungguhnya orang tua punya peran vital dan bertanggung dalam membentuk kepribadian dan pengetahuan anaknya melalui pendidikan.